Sabtu, 06 Desember 2008

Perempuan

Oleh : Dwiyanti

Alkisah dalam sebuah komik Asterix berjudul La Rose et la Glaive (Asterix dan Senjata Rahasia, 1991), pasukan Romawi menggunakan taktik baru dengan menurunkan pasukan perempuan untuk menyerang Galia. Alasannya, pasukan Galia tentu tidak akan menyakiti perempuan. Sebelumnya, seorang feminis dari luar kota bernama Maestria membuat perubahan mendadak yang menyebabkan para pria menyingkir ke hutan. Ketika pasukan perempuan Romawi datang, para perempuan desa menggunakan taktik menjual pakaian dan perhiasan untuk mengalihkan perhatian lawan. Hasilnya tepat sasaran. Pasukan itu tidak jadi berperang, tapi berbelanja.

Cerita di atas merupakan sebuah contoh betapa citra tentang perempuan sangat lekat dengan konsumtivisme. Sekedar menyegarkan ingatan, konsumtivisme adalah berkonsumsi dengan tidak lagi atas pilihan yang rasional berdasarkan kebutuhan, tetapi lebih memperturutkan keinginan (Prehati,2003). Berbeda dengan istilah konsumerisme. Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kontemporer (Peter Salim, 1996), arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya.

Dalam konsumtivisme terjadi kerancuan-kerancuan mengenai apa yang benar-benar kita perlukan dan mana yang sekedar kebutuhan semu. Tambahan pula, kita membeli barang bukan karena nilai intrinsiknya tapi karena citra tertentu yang melekat pada produk tersebut. Ilustrasinya begini. Sepatu merk Bata dan Sepatu merk Channel sama-sama sepatu. Tapi ketika kita membeli Channel kita tak sekedar membeli sepatu. Kita membeli brand, membeli gengsi, dan membeli status sosial. Hal-hal yang tidak kita peroleh dengan membeli Bata, meski keduanya adalah sepatu. Saat itulah konsumsi menjadi hobi atau gaya hidup.

Hal itu dipandang wajar jika perempuan yang melakukannya. Perempuan membeli kosmetik; pergi ke salon; membeli sekeranjang produk perawatan tubuh mulai dari lotion dan lulur untuk kulit, vitamin untuk rambut, dan sebagainya. Tidak wangi adalah sebagian dari dosa, karenanya perempuan memburu berbagai produk pengharum tubuh. Masih banyak lagi macam kebutuhan yang menambah panjang daftar ini. Dan selama yang melakukannya perempuan perilaku konsumsi macam apapun relatif masih ditolerir masyarakat.

Ketika seorang laki-laki berpenampilan kurang rapi, orang cenderung memahami. Tapi jika seorang laki-laki tampil dandy, harum dan memperhatikan penampilan, masyarakat masih merasakan ini janggal. Dia mungkin gay. Atau metroseksual. Pokoknya tidak lazim. Sehingga mesti ada istilah khusus bagi kelompok laki-laki seperti ini. Sehingga cukup pantas untuk jadi cover sebuah majalah bisnis Jakarta beberapa waktu lalu dan jadi topik percakapan di banyak media lainnya. Tema-tema yang diangkat media serupa : Bagaimana Perempuan Menyikapi Lelaki metro seksual? Atau Normalkah Lelaki Metroseksual? Dan banyak lagi.

Kenyatannya, tidak semua perempuan doyan belanja dan rajin ke salon. Tidak semua laki-laki juga abai terhadap penampilannya. Karena sifat konsumsi ini bukan sebuah sifat yang kita bawa sejak lahir. Bahwa perempuan bisa melahirkan karena punya rahim, iya. Tapi apakah perempuan lahir ke dunia dengan membawa keranjang?

Ini hanya persoalan identitas jender yang melekat pada perempuan dan laki-laki. Berbeda dengan seks, jender adalah sifat dan ciri yang dilekatkan terhadap laki-laki dan perempuan sesuai dengan ukuran budaya dan nilai masyarakat. Konsep jender dilawankan dengan perbedaan laki-laki dan perempuan menurut seks atau jenis kelaminnya. Jender bisa berubah sesuai dengan perubahan masa dan perubahan nilai-nilai dalam masyarakat. Sementara jenis kelamin (plus alat reproduksi), tetap.

Sifat hobi belanja pada perempuan masuk dalam identitas jender. Bukan sesuatu yang kodrati atau sering kita katakan sebagai ‘dari sononya’. Itu adalah bentukan budaya dan output produk nilai yang tersosialisasi di masyarakat. Jangan lupa, konsep jender adalah sesuatu yang dipelajari dan diwariskan. Usianya lebih tua dari generasi kita bahkan dari generasi orang tua kita. Tapi sekali lagi : bukan tidak bisa berubah.

Terbukti pada era ini, lelaki juga jadi lebih apik merawat penampilannya. Dan tidak ada yang salah dengan itu semua. Saya pernah bertemu beberapa lelaki yang anti betul dengan parfum, cologne dan sebangsanya karena merasa dirinya jadi kurang ‘jantan’. Ini lagi-lagi kesimpulan karena konsep jender yang keliru. Memangnya jantan itu sama dengan bau? Bukankah bagi perempuan (dan juga laki-laki) lebih menyenangkan bergaul dengan lelaki (dan perempuan) yang rapi dan berbau cologne daripada burket?

Justru yang mesti dikritisi adalah budaya konsumtivisme itu tadi. Pernah dengar istilah shopilimia? Dalam psikologi ini dikenal sebagai compulsive buying disorder (penyakit kecanduan belanja). Penderitanya tidak menyadari dirinya terjebak dalam kubangan metamorfosa antara keinginan dan kebutuhan. Ini bisa menyerang siapa saja, perempuan dan laki-laki. Karena baik lelaki maupun perempuan tak ada yang lahir membawa keranjang.

Dimuat di Berita YISC, di salah satu edisi tahun 2005.